Adorable vs Dreamer

by - 19:33

Lagu Make It Mine milik Jason Mraz yang terdengar dari handphonenya, membuat Nella sedikit terperanjat kaget, dan kemudian meraih handphone itu ke genggamannya. Sambil membagi konsentrasi menyetir dengan menelepon, ia melihat ke layar LCD handphone miliknya. Setelah membulatkan mulutnya karena mengetahui siapa si penelepon, Nella menempelkan telepon itu di telinga kirinya, “Ya, ada apa, Bel?”
“Nellaaa, bad news! Ke sekolah cepet! Demi semua koleksi Versace gue, cepet kesini! Be here or be damned!” nut.. nut.. telepon putus bahkan sebelum dia bertanya kenapa tiba-tiba Bella ngamuk nggak karuan seperti tadi. Merasa kemakan omongannya Bella, Nella langsung menggas Jazz violetnya secepat mungkin. Bad news?
***
Di sekolah, mata Nella menjuru mencari sosok Bella atau sahabatnya yang lain. Tapi, tetap nihil. Ketika ia sedang mencari sambil melihat kearah kantin, tiba-tiba ada seseorang yang menyenggol bahunya. Orang itu kelihatan buru-buru. “Heh! Don’t mind the way is yours dong! Lo nggak liat gue sedang berdiri?” umpat Nella, tapi orang itu tetap melenggang tanpa mempedulikan makian Nella. Sial! Sambil menggerutu, Nella menyusuri koridor utama sekolahnya yang keliatannya kali ini lebih ramai, apalagi ketika ia melewati mading sekolah. Suasananya sudah tak tergambarkan. Penuh. Sesak. Dan euw, nggak banget!
“Excuse me, get off from my way! Gue mau lewat,” kata Nella sarkasme kepada segerombolan cewek yang justru ngerumpi di tengah jalan. Gerombolan cewek itu langsung menyingkir ketika dilihatnya Nella sedang menatap mereka dengan tatapan membunuhnya yang terkenal itu. Ketika sudah melewati gerombolan cewek nggak penting itu, Nella langsung mengambil i-phone dari saku rok rample-nya. Belum sempat dia menekan sesuatu di layar touch screen itu, tangannya sudah ditarik oleh seseorang.
“Nel, where have you been? Lama banget sih, lo!” cerocos Bella setelah dia membawa Nella ke tempat yang jauh dari kebisingan yang euw, menyebalkan itu! Nella mengamati Bella yang sedang berkacak pinggang di hadapannya itu, kemudian ia melempar pandangannya kepada dua sahabatnya yang sedang duduk tenang sambil memangku masing-masing Teen Vogue dan Times. Times? Nella mengernyit. Ada yang salah dengan hari ini, kenapa semua orang jadi berlagak out of control?
“Ok, Bel. Now you calm down yourself first. Then, tell me what’s the problem. Gue berasa jadi manusia goa, karena lo bersikap out of control gitu, dear,” jelas Nella kemudian menarik halus tangan Bella untuk duduk di hadapan kedua sahabatnya yang lain. Bella meneguk hot lemonade yang tadi sudah dipesannya. Kemudian mengambil secarik kertas dari tas selempang broken dark miliknya. “Baca deh, Nel.” Nella mengikuti apa yang dikatakan Bella, kemudian membaca isi kertas tersebut. Dia sendiri sempat tersentak membaca isi surat tersebut. Kemudian menghela nafas panjang.
“Sumpah ya, itu emang nggak adil. Whose made it?” kali ini Rania yang angkat bicara.
“Terus, emang lo mau ngapain? Lo mau bilang sama Oom lo yang notabene Ketua Yayasan itu?” tanya Nella dingin sambil tidak melepaskan pandangan matanya dari kertas tadi. Sementara Rania tersenyum miris sama sekali nggak tersinggung sama ucapannya Nella yang kebanyakan bernada dingin.
“Stop dong guys! Lagian kita kan cuma beda kelas. Bukan beda dunia! Don’t make it difficult. Kita masih bisa hang out bareng, kan?” tanya Afra retoris. Nella mengangguk setuju dan mendaratkan pandangannya kearah majalah yang tadi dibaca Afra.
“Ra, ngapain lo baca Times? That’s so not you at all.”
“Of course, it’s not me. Gue baca ini karena gue dipaksa sama bokap gue.”
“For?”
“Gini loh, gue itu dikenalin sama seorang entrepreneur muda. Dia kolega bokap gue, umurnya juga cuma tiga tahun lebih tua dari gue. Dan as you know, bokap gue pengen gue kenal who he is. Dan hubungannya sama majalah ini, di edisi Times kali ini, dia muncul as nominee the youngest talented entrepreneur. So, gue harus musti kudu wajib baca profil dia yang ada di majalah ini.” Semuanya ngangguk takzim ngedenger penjelasan Afra, kecuali Rania.
“Loh, lo kan udah officially kenal dia. Terus kenapa lo baca profilnya segala?” tanya Rania super polos. Oh gawd! Dia ini emang polos atau bego? Semuanya menatap Rania dan menghela nafas panjang. Keki.
“Guys, kayaknya kita mesti masuk kelas, deh. Five minutes again the bell will ringing. So, gimana kalau kita mampir bentar ke kelas Nella, sambil nganterin dia gitu?” tawar Bella sambil menyamparkan tasnya ke bahu kanan.
“Nooo, nggak usah sih. I’m not such a child yang mesti dianterin kemanapun. I’ll be fine.”
“Okay, kalau gitu. Meet us at canteen if rest time come, ya!” Nella cuma mengangguk tak memandang ketiga sahabatnya, kemudian melenggang menyusuri sederetan kelas di lantai satu.
Dia mengamati papan tiap pintu kelas yang dia lewati. Setelah dia sampai diujung bangunan yang berbentuk L itu, dia berhenti dan menatap papan pintu kelas tersebut. XII IPA 2. Dia melangkahkan kaki masuk dan masih menatap angkuh ke seisi kelas. Sebaliknya, seisi kelas itu langsung berbisik dan menatap dengan segala ekspresi kearah Nella. Ada tatapan kagum, malu, iri, nggak suka, dan ada juga yang terang-terangan natap Nella dengan tatapan provokasi. Semua tatapan itu, Nella balas dengan tatapan khas just hers –membunuh–
“Heh, mau sampe kapan lo berdiri ngalangin jalan?” suara dari belakang tubuhnya, membuat Nella berputar cepat dan menatap cowok yang barusan menegurnya tanpa sikap ‘sopan’ sedikitpun.
“Bisa nggak, lo negur dengan cara yang lebih sopan? You know that was so rude,” cowok itu nggak membalas. Dia menatap Nella lekat-lekat kemudian mengamatinya dari atas ke bawah kemudian keatas lagi. “Dasar squidward abad modern,” katanya lirih. Tapi, nggak begitu lirih dan ramah di telinga Nella. “Mind your own business!” katanya dingin sambil melangkah ke sebuah bangku kosong di pojok kelas. Sementara cowok itu masih mematung dan melotot maksimal ke sekeliling kelas, karena bangku kosong yang tersisa cuma bangku yang ada di sebelah si squidward abad modern! Sial!
Ragu-ragu dia masuk ke dalam kelas. Semua anak cowok memandangnya sambil menyiratkan arti ‘Yow, dia emang galak. Tapi cakep kok! Sikat bro!’ sementara cowok itu sendiri menjawab ‘Gila, bisa bakar urat kalau gue duduk sama dia!’
“Anggara, kenapa kamu masih berdiri?” cowok itu terkesiap dan menoleh ke sampingnya, ada Pak Bara. Sesuai kayak namanya, Bapak yang satu ini termasuk ke dalam jejeran guru paling killer di sekolah. Apalagi jabatannya sebagai Wakasek Kesiswaan yang makin negasin posisinya dia di International Senior High School itu. Sementara itu, Anggara masih terpaku sambil menatap Pak Bara sama seisi kelas itu bergantian. Pak Bara yang mengerti apa yang sedang dialami Anggara, langsung mengambil alih kelas.
“Ya, anak-anak. Untuk tahun terakhir kalian di sekolah ini, Bapak yang akan jadi Wali Kelas kalian. Dan…” Pak Bara menatap ke seisi kelas dan melihat daftar absen di tangannya. Jumlah siswa cowok sama cewek persis sama-sama tiga belas. Pak Bara membenarkan letak kacamatanya dan menatap Anggara yang dari tadi masih setia berdiri di samping meja guru.
“Anggara, kayaknya kamu harus duduk di sebelah Nella. Masalahnya, yang lain sudah fix, terus jumlah siswa laki-laki dan perempuan sama-sama tiga belas. Jadi, mau nggak mau, ada yang duduk dengan lawan jenis. And the chance chose you,” kata Pak Bara tenang datar mirip aliran danau Toba jam 24.00 malam.
“HAH?! SAMA DIA, PAK?” tanya Anggara berbarengan dengan Nella.
“Kayaknya jangan saya deh, pak.”
“Good. Saya juga nggak mau have a same seat sama dia, Pak.” Pak Bara menatap keduanya tajam. Dia nggak mau hari pertama sekolah sudah ada percekcokan kecil kayak anak kecil. Dan percekcokan itu sama sekali nggak mutu.
“Kalian ini sudah SMA tingkat terakhir, jadi tolong jangan bikin masalah kecil jadi besar. Ini cuma masalah kecil. Saya tidak mau dengar protes, banyak materi yang harus kita kejar. Anggara, come on take your seat and everyone open your book, page three!” perintah Pak Bara tegas. Sementara Anggara melangkah lunglai kearah bangkunya yang notabene ada di samping bangku Nella.
Selama pelajaran berlangsung, mereka nggak banyak ngomong. Sibuk sama pikiran masing-masing. Akhirnya setelah menempuh empat kali empat puluh lima menit dan dua pelajaran yang berbeda, bel istirahat berbunyi.
“Minggir.” Kata Nella dingin sambil melempar pandangan ke depan. Angkuh. Anggara yang sedang menyalin catatan di papan tulis, nggak beraksi apa-apa. Cuma menggeser tubuhnya ke samping supaya Nella bisa lewat. Setelah Nella lewat, dia kembali ke aktivitas awalnya. Baru saja dia menengadah menatap kearah papan tulis, tapi pandangannya langsung terhalangi tubuh sahabat karibnya.
“Ahahaha, sohib gueee, aje gilee! Have seat beside celeb of our school. Cool, bro!” seru Radit sambil menyodorkan sekotak roti isi. Anggara mencomot roti isi rasa coklat itu satu dari kotak yang disodorkan di hadapannya sambil bersungut-sungut.
“Apaan dah, lo! Sengsara gue duduk sama dia. Serasa duduk di samping nisan orang mati tau nggak, lo? Sepiii,” keluh Anggara sambil melanjutkan acara mencatatnya.
“Kenapa dibuat susah, sih? Ya, elo ajak ngobrol lah.”
“Idih, ogah gila gue.” Jawab Anggara sambil merinding. Lucu.
“Ya abis, elu hari pertama aja udah kayak macan ketemu herder. Nggak ada damai-damainya! Hidup itu mesti full of smile, Ga!” balas Radit sambil menirukan tarian goyangan kepala ala Rasta.
“Najis banget dah, lo!”
***
Dengan dagu sedikit terangkat, mereka berempat memasuki kantin yang kali ini sudah cukup ramai. Dengan satu pandangan acuh, Bella mengajak ketiga sahabatnya untuk duduk di meja tersebut. Sambil menuju ke bangku tersebut, bisikan plus tatapan kagum mengiringi mereka berempat. Semua aksesori yang melekat di tubuh mereka, menegaskan siapa mereka di sekolah itu. Tanpa perlu berdiri dekat dengan mereka, semua siswa juga tau merk apa yang sedang mereka pakai. Tak kurang, karena mereka selalu berlebih :-), mereka sering memakai sepatu merk VANS, atau mereka sering memadukan seragam sekolah dengan cardigan dari TJ Max atau Armani. Harus diakui, karena cara mereka memadukan warna, bener-bener bikin mereka keliatan eye catching.
Mereka berempat duduk saling berhadapan, sambil mengomentari style terbaru di Vogue bawaannya Afra.
“Majalah Times lo mana, Ra?” tanya Rania sambil menyeruput ice latte andalan kantin sekolah ini. Afra merengut, ingat nasib majalah Timesnya yang ketumpahan parfum miliknya. Dia nggak rela parfum oleh-oleh dari tantenya yang langsung dibeli di salah satu toko parfum di L’avenue des Champs-Elyseés, Perancis itu terbuang sia-sia. Yang rata-rata harga jualnya nggak pake kata ‘rasional’ alias out of ordinary mind. Singkat kata, gila.
“Don’t ask me about that damn magz,” cibir Afra kesal. Sementara itu, dari arah pintu masuk kantin, seorang cowok dengan santai mengapit bola basket di tangan kirinya melambaikan tangan kearah Bella yang tadi sempat memanggilnya. “Dira, sini! Gabung!” cowok bernama Dira itupun dengan senang bergabung ke dalam obrolan cewek-cewek itu.
“Dir, gue denger kafe lo malem ini anniversary yang pertama, ya?” Dira mengangguk sambil mengguratkan senyum manis, yang cukup buat melelehkan es di Negara Rusia sana. Seperti biasa, klub basket selalu punya tempat buat menampung anggota yang bisa tebar senyum charming yang pasti ditunggu sama anak-anak cewek yang gampang meleleh cuma karena senyum. Cuma senyum saudara-saudara!
“Kalau lo semua bisa, lo pada mau nggak ngehadirin acara anniversarynya kafe gue?” tanyanya sopan. Yang pertama bereaksi adalah Rania, “Of course kita datang. Wajib dateng malah.” Jawabnya berseri. Yang lain cuma mengangguk.
“Kalau nggak salah, kafe lo bakal dimuat di Indonesia Tatler, ya?” tanya Bella sambil menyeruput ice tea beraroma lemon. Dira hanya mengangguk pelan. Nggak begitu lama, Dira pamit karena segerombolan cowok mengajaknya tanding basket.
“Dress codenya enak pake apa, ya?” tanya Afra retoris sambil membolak-balik majalah Vogue di hadapannya. Di satu halaman, dia tersenyum ingat sesuatu. Malam ini, dia bakal pake dress dari butik Prada bermodel gown selutut yang manis, simple dan tentu, elegan.
“Gue balik.” Kata Nella setengah malas setelah dia tau kalau dia harus spent her whole night di acara yang pasti ‘membosankan’ itu. Teman-temannya nggak berusaha untuk mencegah Nella pergi. Mereka tau siapa Nella lebih dari yang orang lain tau. Sampai akhirnya, mereka mengontak Dira dan meminta sesuatu padanya.
***
Anggara masih meributkan soal view yang Radit ambil sewaktu mereka hunting foto di daerah kampung nelayan.
“Dit, lo jangan ambil gambar gadis-gadisnya aja, dong! Otak lu, Dir! Mesum!” ucapan Anggara langsung disambut jitakan manis dari Radit. Dia menunjukkan beberapa foto lain selain foto gadis-gadis nelayan yang dia ambil.
“Otak lo yang kotor, gue nggak cuma ngambil foto gadisnya aja kali. Gue juga ambil foto-foto dari scene yang beda. Nih, liat!” seru Radit sambil menyerahkan kamera Nikon D-90 miliknya. Anggara yang penasaran, langsung meraih kamera tersebut dan melihat hasil jepretan Radit. “Weiss, oke juga jepretan lo, Dit!” Radit hanya tersenyum dan memandang kearah Anggara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Dia seolah sedang melihat seorang anak kecil yang sedang bermain dengan mainan kesayangannya, dan tentu mainan itu nggak akan dia lepaskan, dalam sosok Anggara. Kalau dia ingat bagaimana latar belakang keluarga Anggara, ingin rasanya dia cepet-cepet jadi duta UNICEF kemudian memberikan beasiswa itu pada sahabat kentalnya. Oke, dia emang nggak bisa mewujudkan semua itu. Jadi, dia buru-buru menghilangkan pikiran itu, sebelum dia bener-bener gila.
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, dan anak-anak kelas XII IPA 2 siap meluncur tanpa rem untuk keluar kelas. Sialnya, Pak Bara –sang bapak asuh kelas– datang dan menggagalkan rencana semua anak-anak itu. Pak Bara berdiri tegap di depan kelas sambil membawa sebuah map. Map?
‘God, please don’t tell me that he wants to give another greeting in this first day school. How can it be?’ keluh Nella dalam hati sambil berkomat-kamit berharap Pak Bara nggak akan ‘menyapa’ mereka lagi dengan setumpuk visi dan misi kelas yang harus mereka capai di tahun terakhir ini. Terlalu ambisius nggak sih ini bapak-bapak?
“Anak-anak, sehubungan tahun ini UN dimajukan, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk membuat pensi sekolah dimajukan ke awal tahun. Ini semua, agar kedepannya there is no event that can annoyed your study. Get it?” semua anak mengaguk, ada yang bener-bener ngerti, ada yang cengo tapi ngangguk otomatis gara-gara denger Pak Bara ngomong sambil diselepin bahasa ibunya Lady Gaga tanpa salah sedikitpun, bahkan tanpa tarik nafas! Padahal, materi yang diajarkan Pak Bara sendiri itu bahasa ibunya Matsumoto Jun. Ya, Jepang.
“Setiap kelas berhak nampilin apa yang mereka mampu. Berhubung sekolah kali ini mengangkat tema ‘graduated years’. Jadi, kalian yang akan tampil di panggung as the actors. So, kalian ada ide apa untuk tampil di pentas nanti?” kelas tiba-tiba jadi lebih sunyi dari yang tadi. Bahkan pensil si Banu yang jatuh dan dia duduk di pojokan, serasa kayak gelas jatuh dari meja. Semua langsung nengok kearah Banu berbarengan. Banu sendiri langsung mengkeret dibalik meja.
“Gimana kalau drama musikal? Menurut saya simpel, nggak ribet, dan nggak banyak dialog. Palingan problemnya ada di nyanyi sama koreografi,” usul Radit mecahin kebekuan otak. Semua nunduk, nyoba nyerna ide Radit.
Tiba-tiba, Pak Bara teriak heboh, “GREAT! Bapak setuju! Ada yang nggak setuju atau punya ide lain?” semuanya diem lagi. Menciut.dan akhirnya, semua ngangguk setuju.
“Oke, jadi siapa saja yang ingin jadi aktornya?” tanya Pak Bara. Satu per satu, telunjuk anak-anak IPA 2 ngangkat dan tambah lama tambah rame. Sampe akhirnya, dua puluh empat siswa ngajuin diri pengen jadi aktor. Biar eksis. Suara beda datang dari dua siswa sebangku. Mereka sama sekali keliatan nggak minat sama acara ini.
“Anggara, Nella, kalian nggak mau ikutan drama ini?” semua mata langsung beralih kearah bangku Anggara sama Nella tanpa komando. Otomatis.
“Saya hmm… bagian dokumentasi aja deh, Pak.” Tawar Anggara, karena dia sama sekali nggak suka tampil di depan umum.
“Ya sudah, kamu Nella, you have another idea?” tanya Pak Bara santai. Nella ngegeleng cepat. “Saya nggak begitu suka tampil di depan umum, Pak.” Celetuk Nella dingin, datar, nyaris kayak ngomong kalau pensil 2B itu cuma dua ribu lima ratus perak. Kali ini, Anggara membelalak maksimal, dia sedikit mangap dan menatap ke teman sebangkunya itu. Kenapa dia punya alasan yang sama kayak gue?
“Right, kamu sama Anggara saja. Jadi bagian dokumentasi. Bapak rasa kalau berdua cukup. Jadi fix, kelas kita akan nampilin drama musikal dengan tema graduated years. Bapak rasa kita cukup pakai tema itu saja biar cepet dan nggak banyak mulut.” Setelah itu, Pak Bara pamit dan melenggang keluar kelas.
Anggara sedikit menyesal dengan keputusannya untuk jadi seksi dokumentasi. Dia sama sekali nggak punya kamera sekeren Radit. Dia cuma bermimpi suatu saat bakal jadi seorang fotografer dunia, itu sebabnya dia seneng atau bahkan tergila-gila sama fotografi. Kembali ke masalah kamera, ngelirik ke keadaan ekonomi keluarga rasanya buat beli kamera sekelas Nikon D-90, itu jauh banget. Secara, dia sendiri sekolah dengan beasiswa dari Yayasan.  Nggak kerasa, dia mengeluh panjang.
“Don’t you mind that I want to follow what you do. Permisi.” Kata-kata Nella yang sarkastik itu membuyarkan lamunan Anggara. Sekarang, dia menatap cewek yang meminta dia untuk minggir, karena dia mau lewat. Heran, makan apa sih nih cewek? Makan keris kali, ya? Kata-katanya nggak pernah alus.
***
Corner Caffe beruntung, karena taun ini kafe itu termasuk jadi tempat the most wanted by hang outers dan masuk di majalah Indonesia Tatler halaman utama! Nggak heran, kalau yang datang kesini segelintir artis-artis remaja yang sedang naik daun. Ada Steven William yang ‘katanya’ mirip JB, terus di pojok sana ada Nikita Willy yang sedang asik ngobrol bareng Sherina. Terus berdiri agak jauh dari kerumunan, ada Chelsea Olivia yang lagi bercanda bareng pacarnya, Glenn Alinskie. Nggak tanggung-tanggung, artis yang ngisi acaranya juga artis muda yang sedang ‘in’. Petra Sihombing, Afgan, sama Gita Gutawa.
Sementara itu, Nella, Bella, Afra sama Rania sedang anteng duduk sambil ngamatin Petra yang sedang nyanyi hits terbarunya. Inilah cintaku. Lagunya asik, orangnya cakep, pas!
Nella melempar pandangannya kearah booties lace-up Dorothy Perkins yang sedang dia pakai. Bosen. Pikirnya suntuk. Tiba-tiba, ada satu sms masuk.
From: 085295846XXX
Nel, ini gw Radit. Kta pak Bara
latian dimulai bsok. Stlah plg skolah.
jgn lupa bwa kamera. Thanks
Nella menatap layar LCD smartphonenya itu lesu. Dia pengen pulang. Nggak tahan.
“Nel, lo kenapa? Almost an hour kita disini, lo nggak keliatan seneng?” tanya Bella sambil memainkan sedotan di gelas limunnya. Nella menatap Bella sekilas. “Gue duluan ya, bosen.”
Rania, Afra dan Bella saling berpandangan heran. Setelah lima detik terkesima dengan sikapnya Nella yang seenaknya sendiri, Bella langsung mengontak Dira.
Setelah mendapat pesan singkat dari Bella, Dira langsung berlari kearah pintu keluar kafe. Dia akhirnya mendapati Nella sedang berjalan sendiri.
“Nel, mau kemana?”
“Gue mau pulang. Ngantuk.”
“Ya udah, gue anterin mau? It’s bad time for a girl to have own way to home.” Nella hanya mengangguk membenarkan kata-kata Dira dan menerima ajakan Dira untuk pulang bareng.
***
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, siswa-siswa kelas XII IPA 2 sibuk dengan koreo masing-masing. Sementara Nella, dia masih bengong karena bosan di pojokan aula. Sesekali, ia memfoto teman-temannya. Itupun keliatan banget setengah hati dan terpaksa. Saking bosannya, dia akhirnya memutuskan untuk meraih tas kameranya dan berniat untuk pulang duluan.
“Heh, mau kemana lo?”
“I want to go home. Get bored. Thanks for asking,” jawab Nella tanpa melirik kearah si penanya.
“Lo nggak bisa seenak udel dong! Bisa nggak lo lebih mentingin team work daripada tumpukan Elle yang belum lo baca?” tanya Anggara sedatar mungkin sambil menatap layar D-90 milik Radit yang ia pinjam mulai hari ini sampai sebulan kedepan. Nella hanya memutar bola matanya, kemudian dengan segera beranjak dari hadapan Anggara. Terlambat. Anggara langsung menarik pergelangan tangan kanannya keras. Dan itu sempat membuat Nella sedikit memekik kesakitan.
“Take your hand from my hand and my adidas! ASAP!” Nella menatap garang kearah Anggara yang masih hening dan menatap ke layar D-90 nya. Bahkan sepertinya penekanan pada kata ‘ASAP’ yang kependekan dari As Soon As Possible itu dia anggap angin gunung yang mampir sebentar di depan matanya. Nella mengelak, berusaha melepaskan tangan Anggara dari lengannya. Dan akhirnya, laki-laki itu terpancing dan mengangkat wajahnya dari D-90 yang kali ini tanpa macro lens.
“Lo masih ada kewajiban disini, jadi lo nggak bisa pulang. Atau jangan-jangan, lo sebenernya nggak bisa foto orang lagi?” sebenarnya nada yang dikeluarkan Anggara bukan seperti sebuah pertanyaan, itu terdengar lebih seperti ejekan yang telak tepat di ulu hati Nella.
“You think you can do better than me? Take bat! Gue akan ngalahin lo! Take photo, dan finish jam 5 sore!  Foto itu bakal dinilai sama anak-anak. Get it?” Anggara mengangguk menerima tantangan Nella. Dia sendiri menyeringai senang mendapati gadis di hadapannya itu terpancing dan akhirnya mengajaknya bertaruh! Good!
***
Jam 17.00 tepat!
Anggara sudah menunggu Nella di tempat awal mereka pertama bertaruh. Dia mengamati lagi beberapa foto yang telah dia ambil. Tidak butuh waktu lama, Nella sudah datang dengan nafas sedikit terengah dan keringat yang berpeluh keluar terburu-buru dari pelipisnya. Anggara menatapnya dengan sedikit terperanjat. Profil wajah gadis angkuh di hadapannya itu menggoda jarinya untuk menekan tombol shutter kecil di kameranya. Tapi, dengan cepat ia mengalihkan pikirannya, dan mengeluarkan memory card dari D-90 nya, agar mereka berdua dapat melihat hasil jepretan mereka lebih jelas di laptop Nella.
Nella mengeluarkan laptop VAIO miliknya dengan sedikit tergesa, segera setelah ia memindahkan hasil bidikannya ke laptopnya, dia langsung menagih memory card milik Anggara. Dan setelah ia menyimpan hasil foto Anggara, dia kembalikan memory card milik Anggara. Semua gerakan itu, ia lakukan tanpa suara.
Dengan serius, mereka mengamati gambar-gambar yang bergantian di desktop Nella. Lima menit mereka mengamati setiap foto dengan serius, dan lima menit kemudian mereka mulai tersenyum kecil melihat foto-foto yang mereka dapatkan, dan lima menit setelahnya mereka sudah tertawa lepas melihat ekspresi tak sadar yang difoto dengan sengaja oleh mereka. Tentu, Anggara banyak mendapatkan foto anak cowok yang sedang menghafal koreo dengan sumpah-parah-banget. Dan khusus bagian Nella, ia mengambil ekspresi anak cewek dan Pak Bara yang dari tadi keliatan gatel pengen ikut nari bareng anak asuhnya.
Secara tidak sadar, posisi mereka sudah begitu dekat. Dengan tangan Anggara yang merangkul akrab bahu Nella seperti ia merangkul Radit, dan tangan Nella yang sekali-kali menepuk paha Anggara karena kesal dengan komentar Anggara yang kedengaran –so’ bermutu–. Di satu foto yang Nella ambil, dengan objek anak-anak sedang berkoreo bersama, tangan Anggara dan tangan Nella beradu tunjuk ke satu objek yang sama, dan itu membuat mereka saling melempar pandang. Mata mereka  bertemu. Tak ada yang bisa diucapkan, dan akhirnya mereka sadar bahwa mereka terlalu dekat. Dengan muka yang sedikit memerah, mereka berdua membuang muka.
“NELLAA!” panggilan Bella menyadarkan mereka berdua ke alam nyata. Dengan santai, Bella menghampiri Nella dan mengajaknya untuk pulang. Nella yang setuju, langsung membereskan peralatan fotografinya dan meraih tas yang kemudian ia samparkan di bahu kanannya. Sebelum meninggalkan aula tempat mereka berlatih, Nella berbalik. “It’s not over yet. See you,” dengan santai ia melempar senyum samar kearah Anggara. Anggara hanya membalasnya dengan senyum simpul yang manis.
***
Tik tok tik tok
Suara jam weker di meja belajar Anggara mengganggu sang pamilik yang kali ini sedang berkonsentrasi belajar elektrolisis dari buku yang telah ia pinjam sebelumnya. Setelah menggeleng pelan, ia akhirnya menyerah dan menutup buku itu dengan pasrah. Sambil memainkan pensil di jarinya, ia meraih D-90 yang sedang duduk manis di meja belajarnya. Dia melihat hasil fotonya tadi, karena ia belum sempat menyelesaikannya.
Foto seorang gadis yang sedang membidik sesuatu lewat kamera miliknya sendiri, dengan rambut dikuncir satu dan membiarkan helaian rambut yang lain terurai disisi pelipisnya membuat Anggara tertegun. Butiran keringat yang menggantung di ujung rambut gadis itu membuatnya kelihatan sangat foto genic. Sadar atau tidak sadar, ia tersenyum melihatnya.
***
Sirloin steak hangat masih mengepulkan asapnya yang harum, tapi itu tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Nella dari desktop macbook airnya. Kadang dia malah tertawa sendiri melihat hasil foto miliknya sendiri atau milik Anggara yang tadi sudah ia simpan di laptop satunya.
Sambil mengunyah tiga potong kentang goreng sekaligus, ia memperhatikan foto anak laki-laki yang sedang berkumpul sepertinya sedang membicarakan koreo tadi. Di foto itu terlihat Radit sedang berdiri dengan posisi seorang ballerina, dan teman-teman yang lainnya sedang tertawa lepas. Terbahak-bahak. Disitu juga terlihat Anggara yang sedang tertawa lepas sambil menunjuk kearah Radit. Bener-bener seperti anak kecil yang puas ngerjain temennya. Nella sendiri sempat tertawa melihat foto itu.
***
Setelah hari itu, sikap Nella berangsur-angsur berubah. Dia nggak lagi berjutek-jutek ria sama orang-orang yang sudah mengenalnya. Dan untuk orang-orang yang belum mengenalnya, Nella paling hanya melempar senyum tipis. Tapi, itu kemajuan, kan?
Setengah bulan berlalu, mereka semakin serius berlatih koreo disana-sini. Memperbaiki apa yang kurang, dan kadang menambah gerakan baru. Seperti siang ini, saat semua anak-anak berlatih koreo tambahan, Nella izin untuk makan siang. Tapi, sampai jam setengah tiga sore, dia belum kembali ke aula. Anggara sibuk meneleponnya, tapi tidak ada yang menjawab. Merasa frustasi, ia mencoba untuk mengambil foto setiap sudut di aula yang sekarang riuh.
Nella melambaikan tangannya kearah Dira yang tadi dengan ikhlas menemaninya makan siang dan mengantarnya hingga ke depan aula.
“Lo makan apa ngapel? Lama bener!” sergah Anggara tiba-tiba. Nella sempat terkaget mendengar ucapan Anggara, kemudian menanggapinya santai.
“Yang penting, gue balik lagi kesini, kan?”
“Iya, tapi lo nggak usah lebay pake acara makan lama banget kayak marmut dong! Lo nggak mau ngelanjutin moto temen-temen? Ya udah, biar gue aja.” Anggara berbalik memunggungi Nella. Nella sendiri mengerutkan keningnya heran. Itu orang kenapa? Kemudian, sebersit ide jail menyelinap dari balik bando putih gading yang sedang dipakainya.
“Anggara, lo cemburu ya, gue dianter sama Dira? Ngaku lo!” tuding Nella sambil mensejajari langkahnya dengan langkah Anggara. Dia menatap cowok tinggi itu dari samping sambil menyunggingkan senyum jail. Anggara sendiri menggeleng cepat sambil tetap membuang muka dari hadapan Nella. Dia sendiri merasa gugup saat harus mengatakan ‘tidak’. Agaknya kata itu berbanding terbalik dengan hatinya sekarang. Hukum fisika.
Nella masih semangat menggoda sahabat barunya yang satu itu. Tapi, kegiatan itu harus berhenti saat Radit memintanya memfoto dia dengan anak cowok lainnya. Ampun, ini cowok kok banci kamera bener? Pikir Nella sungkan.
“Liat dooong!!” seru Anggara sambil merebut beberapa lembar foto dari tangan Nella. Mengangkatnya tinggi-tinggi supaya Nella tidak bisa merebutnya. Hahaha, puas!
“Anggaaa…” Nella memanyunkan bibirnya dan memalingkan muka, ngambek. Idih, ini cowok rese bener, ah!
Anggara yang ngerasa salah, langsung nyolek bahunya Nella sambil memanggil namanya. Tapi, si pemilik nama lengkap Fortunella Zalea itu tidak bergeming. Dengan satu gerakan cepat, Nella berbalik dan merebut foto itu dari tangan Anggara. Dia berlari menjauh dan tertawa terbahak-bahak. Giliran gue yang puas!
Abis udah kesabaran Anggara buat cewek yang satu itu! Sambil mencak-mencak nggak jelas, Anggara ngejer Nella yang sekarang lagi lari keliling aula, nyelip-nyelip diantara temen-temen yang lain. Namanya juga cowok, yang pas lahir dikasih tenanga bonus sama Sang Khalik, akhirnya Anggara bisa narik siku Nella dan ngebuat cewek itu berhenti ngelebarin jarak dari dia. Dari balik tubuh Nella, Anggara merantangkan tangannya panjang-panjang suapaya bisa ngerebut balik foto yang belum sempet dia liat. Nella sendiri yang nggak mau kalah, masih tetep keukeuh ngejauhin foto itu dari jangkauan Anggara. Sadar nggak sadar, dada Anggara udah menempel di punggung Nella. Tapi, nggak satupun dari mereka yang sadar, mereka masih asik dengan acara rebutan foto itu.
“Foto-foto!” suruh Azela cepet-cepet kearah Radit yang sekarang sedang megang kameranya sendiri. Setelah ngerasa posisi yang pas, Radit menekan tombol shutter di sebelah kanan kameranya, dan mengangguk puas liat hasil fotonya bareng Azela. Radit sendiri sempet grogi berdiri sedeket itu sama Azela, karena udah hampir satu taun dia ngejer cewek yang selalu sekelas sama dia.
“Hahaha, beneran damai juga ini macan sama herder,” sambung Azela sambil tertawa lepas. Sementara Radit masih sibuk ngatur hatinya supaya nggak bekerja diluar kehendaknya. Thanks God!
***
6 Agusutus 2010
Tepat satu bulan anak-anak XII IPA 2 latian keras buat drama musikal yang mereka rencanain. Dan hari ini, mereka bakal nampilin semua hasil kerja keras itu di depan semua orang yang terlibat, diundang, penanggung jawab dan whatever di acara ini.
Anggara tersenyum lebar dan melangkah dengan langkah lebar supaya bisa menyusul Nella yang diliatnya sedang memotret anak-anak XII IPA 2 sebelum tampil. Gadis itu keliatan cantik dengan kaos putih Mango dengan tulisan besar ‘war is over’ dirangkap dengan kemeja kotak-kotak berwarna violet tua, selain itu skinny jeans yang ia pakai membuatnya semakin keliatan jenjang, walaupun ia hanya memakai kets putih. Rambutnya yang dikuncir asal, membuat helaian rambut yang lain jatuh pasrah membingkai wajah tirus sempurnanya.
Langkah Anggara terhenti saat di depannya, ada dua orang cewek yang sedang memperhatikan Nella. Jarak dia dan kedua cewek itu tidak kurang dari dua meter.
“Eh, Nella kali ini tumben keliatan kasual banget, ya?” tanya gadis yang berambut bob.
“He’em. Tapi, tetep aja dia itu fashion police paling oke di sekolah. Walaupun dia pake yang kasual, tapi nggak jauh-jauh dari Mango sama antek-anteknya.” Jawab cewek yang berambut gelombang. Anggara menatap Nella gugup, dingin, rasanya Nella menjadi sangat jauh.
“Kata gosip, katanya Nella udah jalan sama Dira. Anak basket itu.”
“Gue juga denger gitu, kemarin juga gue nemuin mereka berdua abis dari Cimory. Serasi. Gue udah nyangka dari awal, kalau mereka bakal jadian.” Sambung cewek berambut gelombang, sementara cewek yang berambut bob cuma menghela nafas panjang. Anggara udah cukup kenyang mendengarnya, sebuah short conversation yang menarik dia kembali ke realitas apa yang sedang dia jalani.
Disana, dia juga ngeliat ada Dira yang baru aja gabung, dan membisikan sesuatu ke telinga Nella. Dan keduanya tersenyum bersama. Sementara dia menatap lelah kearah semua teman-temannya dan melangah menjauh dari sana.
***
“Sukses!” kata gadis berambut gelombang itu. Dia Afra. Bella yang tadi ngumpet dibalik dekor panggung, langsung berjalan ngehampirin mereka seneng.
“That was great, guys! Anggara keliatan shock abis,” sebenernya, mereka bertiga kurang setuju kalau Nella ‘have a relationship’ sama Anggara. Mereka lebih setuju kalau Nella sama Dira. Ya ya ya. Tapi, hawa lain datang dari arah Rania. Dia yang tadi menghela nafas panjang. Semua menatap gadis berambut bob itu heran.
“Lo kenapa, Ran?” tanya Bella. Rania cuma menggeleng pelan sambil tersenyum masam.
“Pokoknya jangan sampe Anggara jadian sama Nella! What the suck if it happen?” tegas Bella sekali lagi.
“Loh, sejak kapan kalian mulai ngatur hidup gue?” suara Nella terdengar dari balik badan Rania. Mereka bertiga terperanjat kaget, dan serentak menatap Nella.
“Kenapa nggak ada yang jawab?” semuanya diam.
“Karena kita pengen yang terbaik buat lo, Nel. Dan itu semua ada di diri Dira, bukan Anggara. Please, believe us,” kata Bella nyoba ngeyakinin Nella.
“Don’t you ever think like that again. Gue tau yang terbaik buat gue. Gue nggak suka kalian jodoh-jodohin kayak gini. Dan soal kedekatan gue sama Dira, sebenernya…”
“Gue sayang sama Rania,” sambung Dira yang tadi sempet denger omongan mereka. Sekarang, keempat cewek itu menoleh bersamaan kearah Dira. Dia tersenyum manis dan melangkah mendekati Rania, dan meraih kedua tangan gadis itu kedalam genggamannya.
“Gue sayang sama lo, Ran. Lo mungkin nggak tau, tapi sejak dua taun yang lalu, gue udah sayang sama lo. Tapi, gue takut lo tolak. Jadi, sekarang sebelum semuanya telat, gue mau ngungkapin apa yang gue rasain ke lo, Ran. I’m really fallin’ love with you.”
Rania mengangkat wajahnya dan menatap cowok ganteng itu, “Jadi, lo nembak gue atau?” tanyanya heran. Semua yang ada disitu menatap Rania nggak percaya. Helah, ampun!
Dira menatapnya lucu, tangan kanannya memegang pipi kiri gadis itu, sementara tangan kirinya masih memegang erat tangan kanan Rania, “Jadi, lo mau nggak jadi cewek gue?” Rania jadi gugup sendiri, pipinya panas waktu dia nganggukin kepalanya pelan. Semua yang ada disitu senyum seneng, tapi tentu ada perasaan bersalah di mata Bella sama Afra.
“Ran, Nel, sori…” kata Afra pelan sambil nundukin kepalanya. Rania sama Nella berpandangan terus merangkul Afra. “Iya, nggak papa kok, Ra.”
“Bel, lo kenapa nggak minta maaf?” tanya Dira heran, gara-gara Bella masih matung nggak ngapa-ngapain.
“Tenang aja, gue tau pasti mereka berdua maafin gue. Ya, kan?” semua yang disitu natap nggak nyangka kearah gadis blaster satu ini. Sumpah, urat pd-nya nggak berujung kali ini anak? Tapi, emang bener Nella sama Rania langsung maafin Bella. Karena, mereka nggak akan rame kalau nggak ada celotehan nggak mutu dari Bella.
“Nel, kelas lo tampil! Foto gih!” seru Rania yang sekarang sedang dirangkul sama Dira. Nella cuma ngelempar jempol kearah mereka dan bergegas lari ke depan panggung. Jarinya emang lincah mencet tombol shutter, tapi ujung matanya menjuru nyari sosok Anggara.
Drama musikal itu sukses dan berulang kali dapet stap –standing applause– dari penonton. Di belakang panggung, semua anak XII IPA 2 ngumpul sambil ngelepas lelah sama tegang gara-gara takut gagal.
“Nel, lo kenapa? Kayak kebingungan gitu?” tanya Radit yang heran, gara-gara dari tadi Nella celingak-celinguk kayak nyari sesuatu. “Eh, enggak kok. Eh foto bareng dah mendingan! Buat koleksi!” seru Nella ngalihin pembicaraan. Semuanya kompakan berdiri dan ngambil posisi. “Say chee…”
“Bentar, Nel! Anggara! Anggara, lo sini buru, kita mau foto bareng!” potong Radit sambil ngegerakin tangannya nyuruh Anggara mendekat. Dan Anggara mendekat sesuai kayak yang disuruh Radit, tapi justru bukan kearah Radit tapi kearah Nella. “Biar gue yang foto, lo gabung aja sama yang lain,” katanya datar tepat di samping Nella. Nella sendiri natap kaget kearah Anggara. Mata hitam cowok itu sekarang keliatan lelah, jenuh. Nggak ada yang bisa dia lakuin, akhirnya dia ngikutin apa yang Anggara suruh.
Setelah acara foto-foto selesai, mereka mencar ke acara masing-masing. Ada yang ganti baju, ada yang nonton pensi lagi, ada yang cari minum, ada yang cari makan, ada juga yang cari pacar *skip.
“Anggara, gue mau ngomong.” Todong Nella setelah ngeliat Anggara nggak bareng sama Radit dan suasana belakang panggung sepi.
“Anggara, lo kenapa jadi dingin gini sih? Gue ada salah? Kalo iya, gue mint…”
“Bukan salah lo. Gue cuma, cuma mau bersikap realistis aja.”
“Maksud lo?”
“Saat lo nggak mungkin dapetin apa yang lo harapin, lo bakal lebih realistis kan? Dan ini yang sedang gue lakuin, gue nggak mau terlalu jauh… mengenal lo, Nel. Karena nggak ada seperseratus pun dari hidup gue yang berhak masuk ke kehidupan lo yang adorable, Fortunella Zalea.” Anggara mendekatkan wajahnya dan menyapu rambut yang tak searah dengan poni Nella. Paras gadis itu akan terekam jelas, karena mungkin kali ini adalah yang terakhir?
“Anggara…” panggilan itu terputus saat Anggara malah tersenyum pahit dan melangkah menjauh darinya. Untuk pertama kalinya, Nella merasa sesuatu menahan jalan udaranya masuk ke tenggorokan. Memaksanya untuk tidak bernafas. Sesak. Dan air mata itupun akhirnya tumpah.
***
Kakinya kali ini tanpa alas, berayun pelan diatas permukaan kolam ikan rumahnya. Flower suit cantik selutut yang dipadukan dengan sebuah cardigan hitam dari Armani membuatnya keliatan feminine sore ini. Rencananya, sore ini dia, Bella, Rania, dan Afra bakal ke blitz megaplex. Sekedar refresing, mumpung weekend.
Lamunan tentang sosok laki-laki yang kemarin baru saja menyatakan mundur perlahan itu buyar karena ada yang memanggilnya. Mama?
“Nel, tadi ada yang nganterin ini buat kamu. He said that it’s yours,” kata mamanya sambil memberikan sebuah buku kearah Nella. Buku catatan kimia. Nella mangambilnya dengan setengah hati, kemudian dia ingat sesuatu. “He? Cowok? Siapa, ma?” mamanya menggeleng, mamanya juga bilang kalau cowok itu buru-buru. Nella yang panik, langsung berlari keluar rumah dan berpapasan dengan ketiga sahabatnya.
“Nel, lo mau kemana?” tanya Afra, Nella sendiri masih mencari sosok Anggara. Dia ingat, yang meminjam buku catatan kimianya tiga hari yang lalu itu Anggara. Setelah sosok itu tidak ia temukan, ia menunduk. Sakit.
“Nella?” tanya Rania sambil melingkarkan tangannya di bahu Nella.
“Kejar dia, Nel! Demi apapun, kejar dia! Dia tadi jalan kearah pintu masuk komplek.” Kata Bella tiba-tiba, dan itu sukses bikin Nella tegap dan siap buat lari lagi. Sebelum dia pergi, Nella sempet senyum kearah ketiga sahabatnya dan bergegas nyusul Anggara.
***
Akhirnya, sosok itu! Dia belum meninggalkan komplek rumahnya. Lelaki itu masih berjalan sambil memasukan kedua tangannya kedalam saku celana. “ANGGARAA!!” seru Nella sambil berteriak. Membuat pemilik nama Anggara itu berhenti dan memutar tiba-tiba. Dan hasilnya, Nella menubruk dada bidang itu karena tidak mengantisipasi Anggara akan melakukan hal itu. Harusnya udah tau, kan?
Keduanya langsung bertubrukan dan jatuh di tanah. Yang paling mengenaskan tentu Anggara, karena selain harus menopang berat badannya, dia juga harus menopang berat tubuh Nella. Mukanya memanas saat mata gadis itu mengunci matanya, “Sori…” kata Nella gagap sambil menarik tubuhnya dan berdiri.
Keduanya lalu berdiri dan saling bertatapan. Sebelum Anggara mengatakan sesuatu, ternyata Nella berinisiatif untuk berbicara duluan.
“Angga… aku… aku…” kata-kata yang justru harusnya keluar lancar, tiba-tiba menjadi sangat seret untuk keluar. Anggara jadi bingung sendiri dengan sikap Nella yang biasanya sarkastik, asal ceplos, tiba-tiba jadi keabisan kata-kata kayak gini.
Nella mengatur nafasnya, dan setelah penerapan itu berhasil, “Ga, aku pengen kenal jauh tentang kamu.”
Anggara tersentak, ditatapnya gadis itu lekat. “Apa yang istimewa dari hidup gue, Nel? Nothing to know.”
Nella menggeleng, “Aku nggak peduli apa yang bakal aku dapet. I just wanna be with you.” Ungkap Nella jujur. Nggak tau apa yang bakal Anggara tangkep dari kata-katanya. Dan tangan kokoh itu akhirnya menggenggam tangan Nella erat. Menatapnya dalam.
“Hmm, soal lo sama Dira, Nel?” tanya Anggara kaku.
“Hahaha, lo belom tau kalau Dira sama Rania jadian, ya?” jawab Nella dan sukses buat Anggara mati kutu. Cupu amat hidup gue, piker Anggara dalam hati. Setelah itu, Nella nyeritain soal kedekatannya sama Dira itu cuma buat bikin Dira makin deket sama Rania. Anggara mematung. “Angga?” panggil Nella hati-hati.
“Walaupun lo nggak pake alas kaki yang selalu bikin lo keliatan kayak putri di dongeng…” Nella kaget dan langsung menunduk menatap kakinya yang sekarang bersentuhan langsung sama aspal yang cukup panas sisa siang tadi. Bagus! Dia mengutuki dirinya sendiri yang tadi terburu-buru.
Anggara menarik halus dagu Nella agar ia bisa menatap gadis itu dan melanjutkan kalimatnya, “Gue tetep sayang sama lo.” Dan kalimat itu sukses membuat pipi Nella merah. Panas.
“Lo kenapa, Nel? Lo demam, ya? Kok pipi lo merah? Helah, gue nggak bawa obat nih,” sambung Anggara parno dan tatapan nggak ngerti Nella.
“Lo nggak romantis nih! Orang gue lagi tersipu jugaaa,” jawab Nella kesel, dan itu sukses ngundang ketawanya Anggara keluar. Deg! Sumpah senyumnya bikin Nella sempet stuck! How georgious he is! Dia memekik di dalem hati.
“Ga, jadi sekarang kita tuh jadian atau apa?” tanya Nella balik.
“Up to you. Yang jelas gue sayang lo!”
“Gue juga sayang lo, kok!” sambung Nella nggak mau kalah. Mata Anggara membulat, dan Nella meringis. Malu.
Setelah itu, Anggara berlutut dan melepas sneakers yang sedang dia pake.
“Mending lo pake ini deh, kaki lo kayaknya udah gosong tuh.” Nella manyun.
“Nggak matchiiing, Gaaa…”
“Elah, daripada besok kaki lo ganti kulit?” dengan pasrah Nella memakai sepatu Anggara.
“Balik, yuk!” ajak Anggara sambil meraih tangan Nella. Nella sendiri cuma nurut ditarik gitu, sementara matanya masih ngeliatin sepatu Anggara yang kegedean di kakinya.
“Jangan diliatin mulu dong, Nel. Heran deh!” sindir Anggara sambil melengos. Nella yang ngerasa kesindir langsung menatap Anggara yang lagi buang muka. Nella tersenyum, dan merangkul lengan Anggara, “Ciee, yang ngambek.”
Dengan cepat Anggara menoleh kesampingnya dan mendapati cewek itu sedang tersenyum jail. Ting! Ada satu ide yang melintas dari otak Anggara. Dengan satu tangan bebas, Anggara meraih tengkuk Nella dan mendaratkan sebuah ciuman di puncak kepala gadis itu. Dan sekarang, gadis itu mati kutu.
“Anggaaaa…” akhirnya, mereka menyusuri jalan sepi itu dengan penuh tawa dan tangan yang saling tertaut.



-THE END-

You May Also Like

0 comments

Powered by Blogger.

Popular Posts

About