Pagi

by - 09:25

Tuutt… tuutt…
Sambungan telepon masih terdengar sibuk, membuat Gabriel semakin cemas. Sudah tiga jam, dia menunggu kehadiran Yara di café tempat mereka biasa bertemu. Tapi, tanda-tanda kedatangan Yara sama sekali tidak ada.

Dengan setengah berlari, Yara bergegas menuju sebuah meja yang telah dipesan sebelumnya oleh Gabriel. Tangan kirinya masih sibuk membawa i-pad, sementara tangan kanannya sedang membawa sebuah handbag clumsy berwarna biru satin, senada dengan apa yang dia kenakan hari ini.

Derap langkah high heelsnya membuat orang-orang yang berada dalam jangkauan suara sepatunya itu menoleh. High heels model open toe itu membuatnya semakin terlihat eye-catching malam itu. Dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya, ia menghampiri Gabriel yang sudah kelihatan sangat cemas.

“Jangan bilang kalau kamu abis nge-desain dress lagi?” Tanya Gabriel langsung. Yara hanya menyunggingkan seulas senyum, dan meletakkan semua barang bawaannya di meja, “Soalnya, tadi nanggung banget, Kak.”
“Iya, saking nanggungnya, ngangkat telepon aku aja kamu nggak bisa ya, kan?” sindir Gabriel yang kelihatan kecewa dengan sikap Yara akhir-akhir ini. Sekarang, gadis itu lebih senang menghabiskan waktunya semalaman bersama beberapa gelas kopi dan setumpuk desain dress outlook model terbaru.

“Yar, tinggal dulu deh masalah desainnya. Nanti lagi kalau udah selesai UAS aja,” saran Gabriel yang peduli dengan nasib nilai Yara akhir-akhir ini. Bahkan, ia tahu kalau nilai Yara akhir-akhir ini turun drastis akibat jarang belajar.
“Aduh Kak, aku nggak bisa hidup without desaiiiin,” rengek Yara agar sedikit dilonggarkan oleh Gabriel.
“Tapi liat nilai kamu juga, cantiiik,” sanggah Gabriel sambil mencubit pipi Yara. Gadis itu tidak menemukan kata yang pas untuk mengelak, dia mengingat kembali nilai semua ulangannya.

“Gimana? Masih mau ngorbanin nilai demi desain?” Yara menunduk. Bingung.

@@@

Koridor sekolah terlihat sepi kali ini. Itu semua karena sekarang adalah jam pelajaran kedua. Yang notabene masih fresh dan gurunya pun masih rajin-rajin. Kebetulan, hari ini Gabriel sedang ada pelajaran olahraga. Dan pelajaran olahraga baru saja usai beberapa menit yang lalu, dengan tenggorokan yang harus diisi air, ia bergegas menuju kantin. Kantin sekolah memang terletak di ujung bangunan yang berbentuk L itu. Dengan desain membentuk sebuah saung, kantin itu akan terlihat sejuk dari jauh dan terasa nyaman saat didalamnya.

Ditariknya sebuah bangku, kemudian ia hempaskan tubuhnya di bangku tersebut. Sambil menunggu pesanannya datang, ia mengamati sekelilingnya. Dan akhirnya, matanya tertuju pada seorang gadis yang sedang serius mengerjakan sesuatu di netbook VAIO putihnya, “Yara?” gumamnya pelan.

“Yara, ngapain disini? Kamu nggak ada pelajaran?” Tanya Gabriel heran. Yara menggeleng dan menunjuk sebuah buku PKn yang terbuka disampingnya dengan kedua matanya, “Ya terus kamu ngapain disini? Masuk gih! Daripada kakak catet kamu di buku kepatuhan!” ancam Gabriel serius.

“Yah kakak, jangan dicatet dong. Kan aku pacar kakak, lagian kakak kan Ketua Komisi Keamanan,” rengek Yara seperti biasa.
“Ya nggak bisa dong, Yar. Apa kata orang nanti? Masa ketuanya pilih kasih?” Gabriel memusatkan lagi perhatiannya pada buku PKn itu. Dilihatnya baik-baik, ada selembar kertas terselip disana. Ketika ia ambil kertas itu dan melihat apa isinya, Gabriel melotot maksimal. Disitu tertera jelas angka 56 untuk mata pelajaran Fisika.

“Yar, sekarang kamu lagi ada remed, ya?” Yara mengangguk. Dengan berdecak, Gabriel meraih VAIO milik Yara, Yara yang kaget langsung mendelik tajam ke arah Gabriel., “Kakak balikin netbooknya!” seru Yara sambil mencoba meraih netbooknya yang diangkat tinggi-tinggi oleh Gabriel.

“Tinggalin dulu desainnya! Fokus belajar dulu, Yar,” kata Gabriel menasehati Yara. Tapi, kelihatannya Yara sama sekali tidak menggubris perkataan Gabriel, matanya masih tertuju pada VAIO putih kesayangannya. Dia teringat tentang desain high heels yang baru saja ia buat. Oh God! My white pointed boots knee! Teriaknya dalam hati.

“Yar, kamu dengerin kakak nggak, sih? Udah, kakak capek sama kelakuan kamu! Mind your own bussiness!” kata Gabriel marah, sambil meletakkan netbook itu kasar di meja kantin.
“Kok kakak jadi tempramen lagi? Kakak kan tahu kalau aku nggak bisa tanpa desain aku! Please, ngertiin aku dong kak!” seru Yara tak kalah emosi.
“Yar, kakak udah coba ngertiin kamu! Kamu yang nggak mau ngehargain waktu kamu! Kamu sia-sia-in waktu kamu cuma buat desain dress kamu itu!”
“Kakak bilang apa? Desain aku sia-sia? Maaf kak, but I’m gonna rich with this project and I like this job,” jawab Yara dengan nada yang lebih tinggi. Gabriel merasa pertengkaran ini tidak akan berakhir jika tidak ada yang mengalah. Sedangkan dia dan Yara sama-sama keras kepala.
Okay, so have a nice relationship with your design! May be from now, we mind our own bussiness! Thanks,” jawab Gabriel tegas untuk mengakhiri ketidakpastian arah pembicaraan mereka. Keduanya masih dalam keadaan emosi. Mereka melangkah menjauhi satu sama lain dengan segera.

###

Yara menghela nafas panjang. Ditatapnya lagi VAIO putih miliknya. Desktop background netbooknya masih sama seperti pertama kali gambar background itu di upload. Gambar itu adalah gambar dirinya sendiri dengan Gabriel di depan Monas. Yara tersenyum miris saat mengingat kembali apa saja yang mereka lakukan disana.
“Hey, Yar! Lo ngapain sendirian di perpus?” tanya Sivia yang kebetulan sedang membaca di perpus.
“Gue lagi cari bahan buat desain outfit gue, Vi,” jawab Yara berbohong.
“Bohong kan lo! Ngaku deh!” Yara menggeleng, tapi dia heran darimana Sivia tahu. Tapi, di lain sisi ia ragu untuk menceritakan masalahnya dengan Gabriel.
“Nggak usah ngelak lagi deh, gue tau lo lagi ada problem sama Kak Gabriel. Nih liat aja twit terbarunya,” kata Sivia sambil menyerahkan i-phone miliknya kearah Yara. Yara meraih i-phone dari Sivia, dilihatnya baik-baik twit yang terpampang di layar smartphone itu.

gabriel15: I just want her to save her value, I’m never want to make her angry

Baru saja jari lentiknya akan mengetikan sebuah kalimat balasan untuk twit terbaru kekasihnya. Tapi, ia urungkan niatnya. Perutnya tiba-tiba mual, ia masih merasa kesal dengan kelakuan Gabriel. Dia merasa Gabriel kembali menjadi sosok yang tempramen, seperti masa-masa awal pacaran mereka. Tanpa terasa, ia menghela nafas panjang.

###

Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan jam 04.00 pagi. Tapi, Yara sama sekali belum ingin memejamkan matanya. Ia masih memikirkan pertengkaran ia dan Gabriel tadi malam.

Tadi malam, ia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Gabriel. Tapi, yang terjadi malah pertengkaran lagi, juga masih dengan topik pembicaraan yang sama. Dan percakapan telepon itu diakhiri dengan satu kata yang belum pernah mereka bahas sebelumnya. Putus.
So, you want us to break up?” kalimat itu terlontar lancar dari mulut Gabriel. Sementera Yara terpaku mendengar ucapan Gabriel.
“Kalo emang itu terbaik buat kita,” jawab Yara. Suaranya sudah terdengar parau.
Dari sebrang, terdengar Gabriel menarik nafas panjang, “Hhh… tarik selimut lo, Yar. Tidur,” telepon itu kemudian terputus.

Yara mengalihkan pandangannya keluar dari pintu balkon kamar. Langit masih berwarna gelap, belum ada tanda-tanda matahari akan muncul disana.
Sayup-sayup terdengar suara petikan gitar mengalun rendah dari luar kamarnya. Dengan sedikit mengintip dari balik gordain pintu balkonnya, Yara mencoba mencari asal suara tersebut.


“…Aku ingin engkau s'lalu
hadir dan temani aku
di setiap langkah
yang meyakiniku
kau tercipta untukku
sepanjang hidupku

Aku ingin engkau s'lalu
hadir dan temani aku
di setiap langkah
yang meyakiniku
kau tercipta untukku…”

Lagu itu mengalun indah membingkai pagi yang belum mau terbangun. Tanpa banyak bicara, Yara langsung menutup kembali gordainnya dengan keras. Ia mendengus kesal. Ditinggalkannya pria yang sedang menyanyi dibawah balkon kamarnya. Dia tak mau ambil pusing saat ini. Intinya, dia sedang tidak ingin menemui mungkin ‘mantan’ kekasihnya itu.

Gabriel semakin gelisah, ia tau Yara belum tidur, karena kamarnya masih menyala dan ia tahu Yara tidak suka lampu yang menyala saat tidur. Ia tahu setiap apa yang kekasihnya itu sukai. Walaupun, Yara tidak tahu itu. Bahkan, ia melakukan ini semua karena ia tahu bahwa Yara penggila Shakespeare yang menawarkan segala macam keromantisan.
Dengan memantapkan hati sebisa mungkin, Gabriel tetap mengalunkan lagu-lagu yang ia mau. Cuma satu tekad gue, Yar. Gumama Gabriel pelan.

Jam 05.30 tepat
Yara terbangun di kursi malas samping pintu balkonnya. Ia tak tahu kenapa ia tidak ingin membiarkan Gabriel menyanyi sendirian, walaupun hatinya masih sakit. Ia akui bahwa ia masih ingin mendengar suara Gabriel. Sekarang, ia berbalik gelisah saat ia tak menemukan Gabriel dibawah balkonnya lagi.
Dengan sedikit tergesa-gesa, ia raih cardigan Armani hitam miliknya, kemudian ia bergegas turun untuk menemui Gabriel. Ia rasa tak ada waktu lagi untuk memperbaiki hubungannya, selain sekarang.

Ia menoleh ke segala arah sambil mencari sosok Gabriel. Matanya mulai memburam.
“Nyari gue, Yar?” kata Gabriel mengagetkan Yara. Cepat-cepat Yara menghapus air matanya agar tak jatuh di hadapan Gabriel. Gabriel sendiri hanya tersenyum tipis, dan mengusap bulir air mata yang sudah terlanjur turun di pipi Yara dengan punggung tangannya, “Ada apa?” Yara menunduk dalam-dalam, menatap flower suit selutut yang ia kenakan pagi ini.

Gabriel tidak menunggu jawaban dari Yara, ia menarik tangan gadis itu kemudian mengajaknya ke sebuah danau buatan yang tak jauh dari rumah Yara berada.
“Yar, hmm… sebenernya gue sama sekali nggak ada maksud buat ngomong kayak tadi malem, gue…”
“Iya, gue tau kok, Kak. Gue juga mau minta maaf, soalnya kemarin gue ngomong seenak gue.”
“Harusnya gue yang minta maaf, Yar. Lo mau kan maafin gue?” tiba-tiba ada sebuah ide muncul di kepala Yara, “Kalo gitu, tembak gue dong! Kemaren kan kita sempet putus,” Gabriel mendelik mendengar usul Yara, tapi Yara tetap menegaskan bahwa ia ingin Gabriel melakukan itu.
Right, you’re the winner! Yara, would you be my girl again, please?” Yara tersenyum puas, kemudian mengangguk senang.
“Kak, kok lo milih pagi? Kenapa nggak candle light dinner?”
“Soalnya, gue pikir Shakespeare nggak kepikiran sampe sini,” Yara membulatkan matanya. Ia tersenyum manis mendengar jawaban Gabriel.
“Satu lagi, jujur gue lebih suka liat sunrise daripada sunset. Alesannya, gue mau tiap gue bangun nanti, gue bisa bangun ngeliat matahari sama orang yang paling gue sayang. Yaitu elo, cantiiik,” Yara makin tersipu dengan alasan Gabriel. Ia memukul pelan bahu Gabriel, “Gombaaall!”

Akhirnya, mereka menghabiskan pagi dengan duduk melihat matahari itu muncul perlahan dari sudut danau dengan tangan yang saling terpaut satu sama lain. 


You May Also Like

0 comments

Powered by Blogger.

Popular Posts

About